Beri Aku Cerita yang Tak Biasa
Cinta bukan hanya sekadar, namun harus berujar memiliki pijar.
Tagline magis yang saya baca dari buku bersampul biru teduh ini langsung membuat saya jatuh cinta. Kesan sejuk dan damai langsung dapat saya rasakan.
Bicara tentang cinta memang tidak pernah ada habisnya. Satu kata pengikat dalam sebuah hubungan yang menjadikannya indah. Seindah keragaman budaya Nusantara yang sarat makna dan kecintaan para penulis padanya.
Namun, tentu saja semua keindahan itu tak akan tampak tanpa para penulis berujar tentang pijaran-pijaran keindahannya, maupun filosofi yang terkandung di dalamnya. Itu yang coba saya tangkap ketika membaca “Beri Aku Cerita yang Tak Biasa”, buku prosa filmis karya Kirana Kejora bersama 28 penulis yang disebut Elang Biru dari komunitas Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN).
Buku yang diterbitkan oleh Wonderland Publisher pada bulan Agustus 2022 ini memiliki tebal 332 halaman. Terdapat 28 budaya yang diangkat dalam cerita dengan kemasan prosa filmis yang disampaikan sangat ringan, cukup memudahkan saya untuk mencerna setiap pesan yang disampaikan. Tidak hanya sajian drama keluarga yang lengkap dengan segala konfliknya, setiap cerita selalu memiliki keunikan dalam menyampaikan setiap makna budaya dan juga hikmah yang tersirat di dalamnya.
Seperti pada cerpen pembuka yang berjudul ‘Totopong Hanjuang Kakek’ karya Kirana Kejora dan Hedy Rahadian. Kisah perjalanan seorang pemuda yang berhasil membuka tabir makna yang tersimpan dari setiap petuah dan barang-barang peninggalan sang kakek, salah satunya adalah totopong, yaitu ikat kepala khas Sunda.
Kemudian, ada kisah perjalanan perempuan tangguh berdarah Madura yang menjaga betul pesan para leluhur untuk pantang menginjak-injak kehormatan keluarga dan warisan budaya, apalagi dengan mempertahankan hubungan yang telah dikhianati salah satu pihak. Drama keluarga dengan konflik yang cukup menyakitkan itu terkemas dalam cerpen yang berjudul ‘Masjid Konah dalam Taneyan Lanjang Menuju Wageningen’ karya dari Widyanti Yuliandari.
Tidak hanya itu, “Beri Aku Cerita yang Tak Biasa” juga menghadirkan makna tersirat yang ada dalam beberapa prosesi pernikahan adat dari suku Aceh, Jawa, Bugis, juga makna tembang Macapat Sinom dan Kinanthi, bahkan makna yang terkandung dalam kuliner Nusantara. Semuanya terkemas dalam bentuk roman yang indah dan mudah untuk dinikmati alur ceritanya.
Ada satu tembang macapat yang dituangkan salah satu penulis, yaitu Discalusi Florentina dalam cerpennya yang berjudul ‘Terbang Meraih Impian’ yang begitu dalam maknanya saya rasakan dan sangat relate dengan keadaan saat ini. Berikut adalah tembang macapat Sinom yang menjadi inspirasi penulis lengkap dengan maknanya,
SINOM
Amenangi jaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Melu edan nora tahan
Yen tan melu anglakoni
Boya kaduman melik
Kaliren wekasanipun
Dilalah karsa Allah
Begja begjaning kang lali
Luwih begja kang eling klawan waspada
Terjemahan:
Mengalami hidup di zaman edan (gila)
Tidaklah mudah untuk dimengerti
Ikut edan (gila), tidak tahan
Kalau tidak ikut, tidak mendapat bagian
Akhirnya kelaparan.
Tapi, Allah Maha Berkehendak
Bagaimana pun beruntungnya orang yang lalai.
Lebih beruntung orang yang ingat dan waspada.
Sinom adalah tunas pohon asam jawa yang kuat, tidak mudah roboh, sehingga tembang sinom ini sering ditujukan untuk generasi muda, dengan harapan agar selalu kuat, tidak mudah diombang-ambingkan keadaan.
Masih ada banyak lagi kisah menarik yang mengangkat budaya Nusantara dalam buku “Beri Aku Cerita yang Tak Biasa” ini. Tunggu review saya berikutnya, ya!
Menurut saya buku ini sangat menarik untuk dibaca. Tidak hanya sekadar menambah wawasan tentang budaya, tetapi juga sebagai upaya menjaga warisan budaya yang merupakan amanah dari semesta. Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan menjaganya?
-0 Comment-